Rahasia Gelap di Balik Makam? Review Film Exhuma (2024)

Share:

Rahasia Gelap di Balik Makam? Review Film Exhuma (2024)

Review   63   Update: 30/05/2024


Film Exhuma (2024) sukses menggebrak layar bioskop nasional sejak dirilis pada 28 Februari. Mengangkat cerita rakyat Korea Selatan dengan unsur spiritual, mistis, dan ilmu sihir yang kuat di era kekuasaan Jepang, film ini menawarkan pengalaman horor yang berbeda.

Exhuma masuk dalam daftar film horor yang direkomendasikan oleh Joko Anwar, sutradara horor terkenal asal Indonesia. Menurutnya, film ini menampilkan horor yang mampu mengusik pikiran penonton, bukan hanya sekadar horor dengan jumpscare atau riasan menyeramkan.

Diperankan oleh Choi Min-sik sebagai Sang-duk, Lee Dohyun sebagai Bong-gil, Kim Go-eun sebagai Hwa Rim, dan Yoo Hae-jin sebagai Young-geun, para aktor ini berperan sebagai karakter dukun, ahli feng shui, dan ahli tukang gali kubur (pemakaman).

Poster film *Exhuma* mungkin tidak menampilkan nuansa horor dan mistis yang menyeramkan, namun ceritanya berhasil menciptakan ketegangan yang membuat penonton terpaku, sehingga film ini meraih jumlah penonton yang fantastis.

Sebelum itu, apa sih arti dari “Exhuma” tersebut?

Arti dari Exhuma merujuk pada proses fisik pemindahan jenazah yang telah dimakamkan. Cerita dalam film ini benar-benar berpusat pada makam, yang menjadi pusat perhatian dan kunci untuk mengungkap konflik serta hubungan rumit antar karakter dari masa lalu.

Makam tersebut tidak hanya berfungsi sebagai tempat peristirahatan terakhir, tetapi juga sebagai simbol dari berbagai lapisan cerita yang mencakup intrik, pengkhianatan, dan ketidakadilan.

Setiap aspek dari makam itu – mulai dari cara jenazah dimakamkan hingga lokasi dan ritual yang mengiringinya – memberikan petunjuk penting yang mengungkap rahasia terdalam dan kegelapan yang menyelimuti para tokoh.

Dengan demikian, kata “Exhuma” tidak hanya menggambarkan suatu kegiatan, tetapi juga mengandung unsur negatif yang menyebabkan kekacauan akibat peristiwa di masa lalu.

Sejarah Awal Terjadinya Exhuma

Semua bermula dari invasi Hideyoshi Toyotomi ke Korea Joseon pada abad ke-16. Dalam salah satu babak paling brutal dari sejarah tersebut, seorang komandan perang Jepang berhasil menebas kepala 10.000 prajurit Korea. Namun, menjelang akhir perang, nasib berubah, dan komandan ini akhirnya dikalahkan. Jepang, yang tidak rela melepaskan cengkeramannya atas Joseon, mencari cara untuk terus mengganggu negeri itu bahkan setelah kemerdekaannya.

Dalam upaya licik untuk menanam benih kekacauan, Jepang memanggil seorang biksu yang bernama Gisune, yang diyakini oleh banyak orang adalah siluman rubah. Gisune memiliki kekuatan mistis yang luar biasa dan menggunakan ritual ilmu hitam dalam rencananya. Dalam sebuah upacara yang penuh dengan misteri dan kegelapan, ia membakar sebuah katana yang kemudian dimasukkan ke dalam mayat sang komandan perang.

Setelah melakukan ritual tersebut, jasad komandan itu dimasukkan ke dalam sebuah peti kayu yang diberdirikan dan dililit kawat berduri. Langkah ini bukanlah tanpa tujuan. Ritual tersebut dirancang untuk menciptakan sebuah pasak besi berenergi jahat yang bertujuan untuk merusak fengshui semenanjung Korea.

Pasak ini kemudian dikuburkan tepat di perbatasan antara Korea Utara dan Korea Selatan, sebagai simbol dan alat untuk memecah belah dua negara tersebut. Pasak besi tersebut dianggap sebagai “Rubah menggigit punggung Harimau”, di mana Harimau melambangkan bangsa Korea dan Gisune, sang siluman rubah, berusaha untuk menghancurkan kekuatan dan persatuan mereka.

Awal Cerita dari Exhuma

Pada era modern, cerita ini mendapatkan babak baru. Seorang kolaborator Jepang yang telah lama tinggal di Korea wafat, dan Gisune, yang memiliki kehidupan abadi, kembali muncul. Gisune menyarankan keluarga si kolaborator untuk menyemayamkan jenazah di tempat dengan fengshui terbaik. Namun, ternyata lokasi yang disebutkan adalah di kuburan sang komandan, tempat yang sudah dipenuhi energi jahat dan kental dengan kekuatan Yin.

Setelah penyelidikan lebih lanjut, diketahui bahwa sumber kekayaan sang kakek berasal dari menjual negaranya. Makam sang kakek ditempatkan di atas pasak besi (makam shogun) yang menandakan simbol kekuasaan Jepang pada masa itu. Konon, hal ini yang menyebabkan semenanjung Korea terpecah menjadi dua negara.

Dalam budaya Tionghoa dan Korea, penting untuk memakamkan anggota keluarga di tempat terbaik dan bagi keturunan untuk berbakti pada mendiang dengan rutin melakukan sembahyang. Kegagalan dalam hal ini diyakini akan membawa kesukaran bagi keturunan. Benar saja, karena energi Yin di makam itu terlalu kuat, arwah sang kolaborator terus-menerus meneror anak cucunya.

Mereka mulai mengalami mimpi buruk, penyakit misterius, dan kesialan yang tidak bisa dijelaskan. Hal ini membuat keluarga tersebut mulai mencari bantuan dari para ahli spiritual dan dukun untuk meredakan kutukan yang mereka hadapi. Mereka pun melakukan berbagai upacara dan ritual untuk menenangkan arwah sang kolaborator dan membersihkan makam dari energi jahat yang mengganggu.

Setelah kuburan dibongkar, ditemukan pemakaman ganda yang disusun secara vertikal dan dililit kawat besi yang sangat kuat.

Kisah ini berlatar pada masa pendudukan di Korea, di mana terjadi peperangan supranatural. Seorang jenderal Jepang yang kalah dalam perang dikubur hidup-hidup oleh seorang biksu jahat bernama Gisune, yang juga dikenal sebagai peramal terkenal Murayama yang menjelma menjadi rubah.

Dalam budaya Jepang, rubah merupakan hewan mitologi yang disebut Kitsune. Kitsune adalah legenda tentang rubah berekor sembilan yang konon memiliki hubungan dengan kehidupan seksual masyarakat Jepang.

Secara keseluruhan, kisah ini menegaskan bahwa menjaga keseimbangan spiritual dan menghormati tradisi adalah kunci untuk menghindari kehancuran yang dapat ditimbulkan oleh energi negatif dari masa lalu.

Ini mengajarkan bahwa kejahatan dan kesalahan yang tidak diselesaikan dapat menciptakan bayang-bayang panjang yang mengganggu kehidupan di masa kini, dan bahwa penyelesaian bijaksana dan pemahaman spiritual yang mendalam diperlukan untuk memutus siklus ini.

Selain itu, jika anda suka film seperti Exhuma, anda dapat menonton Film “The wailing” (2016), yang tidak kalah menyeramkan dan seru dengan latar belakang pedesaan yang mencekam dan aksi actora-actor yang memuk

Author by: Muhammad Helmi Nurrohman

Artikel terbaru