5 Sastrawan Indonesia Pernah Dipenjara Karena Karyanya

“Tidak ada yang menangkapmu karena membaca”, ucap Sponge Bob dalam guraunya di dalam salah satu serialnya.

Kegiatan literasi ini pernah dan masih sangat ditakuti hingga saat ini. Mengapa tulisan bisa sangat berbahaya? Dan mengapa banyak penulis yang ditangkap hanya karena berkarya?

 

Berikut 5 sastrawan di Indonesia yang pernah ditangkap karena karyanya,

Sitor Situmorang

Sejarah mencatat begitu banyak perlawanan dengan menulis. Cara ini bahkan dipercaya lebih berbahaya ketimbang senjata manapun. Ya, sebuah tulisan adalah ideologi, dan ideologi jika disampaikan dengan cara yang tepat akan menular pula dengan cepat.

Sudah banyak buku yang begitu sangat mengancam, dan Sitor Situmorang adalah salah satu yang melawan meski pada akhirnya dipenjarakan.

Faktanya, Sastrawan angkatan 45 ini pernah dipenjara dan dianggap mengancam eksistensi orde baru karena menulis essai yang berjudul “Sastra Revolusioner”. Disebabkan oleh tulisan itulah, dirinya dituding memihak komunisme dan Soekarno. Dirinya harus mendekam di penjara sejak 1967 hingga 1974.

 

Rendra

Namanya sudah tidak asing lagi. Penulis yang memiliki nama lengkap Willibrordus Surendra Broto atau juga dikenal dengan Wahyu Sulaiman Rendra ini sudah sejak lama aktif menulis serta aktif pula malang melintang di dunia per-teateran Indonesia.

Namun sayangnya, karena keahliannya itulah ia harus berurusan dengan orde baru. Faktanya, Rendra memang dikenal aktif menyokong gerakan mahasiswa pada masa pemilu 1977.

Di tengah ketidakpercayaan masyarakat terhadap Soeharto yang naik sebagai presiden, Rendra tampil membakar semangat revolusi dalam rapat mahasiswa di Salemba, Jakarta. Saat itu puisi yang dibacakan ialah “Pertemuan Mahasiswa”.

Tidak hanya puisi, pemerintahan Soeharto juga dibuat geram dengan teater pertunjukkan yang berjudul “SekDes” dan film “Yang Muda Yang Bercinta”.

Terbukti, tidak butuh lama bagi Rendra menikmati kebebasan. Di tahun itu juga ia harus berpindah tempat ke Rutan Militer Jl. Guntur, Jakarta.

Tuduhan tentang dirinya yang memprovokasi masyarakat dan mengganggu stabilitas nasional membuatnya harus menjalani masa-masa kelam di dalam tahanan.

READ :  5 Batu Permata Terbaik Yang Banyak Dicari Di Indonesia

 

Widji Thukul

Era orde baru benar-benar masa yang penuh kekang dan otoriter. Buktinya bisa dilihat dari penangkapan orang-orang, termasuk para sastrawan yang bertindak lebih untuk menyuarakan ketidakpastian.

Widji Widodo atau lebih akrab dengan nama Widji Thukul, dikenal sebagai aktivis Hak Asasi Manusia. Selain aktivis, dirinya juga dikenal sebagai pencipta dan membacakan puisi-puisi yang menyulut semangat perjuangan. Puisi berjudul “Sajak Suara” menyabet penghargaan Asean Literary Award merupakan salah satu dari karya ciptaannya.

Sebagai aksi nyata, ia juga dikenal begitu berpengaruh dalam menggerakkan demo buruh pada tahun 1991 terhadap pemerintah yang dianggap represif.

Namun, tahun-tahun perjuangan Widji tidak hanya sampai di situ. Widji semakin gencar berdemonstrasi bersama buruh pada tahun 1996 hingga akhirnya hilang di tahun 1998.

Hilangnya seorang Widji Thukul masih menjadi misteri hingga sekarang. Hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya.

 

Mochtar Lubis

Mochtar Lubis dikenal sebagai sastrawan yang menghasilkan karya yang luar biasa, di antaranya “Jalan Tak Ada Ujung” dan “Harimau-Harimau”. Pendiri Majalah Sastra Horison ini pernah merasakan jeruji besi di dalam dua masa, orde lama dan orde baru.

Di era orde lama, Mochtar Lubis begitu keras mengkritik pemerintahan Soekarno. Hingga harian miliknya “Indonesia Raya” berkali-kali dibredel karena sikap kritisnya. Puncaknya ia harus dipenjara pada tanggal 22 Desember 1956 hingga tumbangnya rezim orde lama di tahun 1966.

Seiring bergantinya rezim, Mochtar tidak ikut lengah. Masa hukuman 9 tahun sama sekali tidak membuatnya kendor. Di era orde baru, Lubis kembali menunjukkan taringnya. Satu di antaranya, ia cukup gencar memberitakan korupsi di tubuh Pertamina hingga peristiwa MALARI 1974 lewat Indonesia Raya. Buntut dari kegiatannya, Lubis diganjar dengan penjara 2,5 bulan oleh presiden Soeharto.

 

Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya merupakan salah satu novelis terbaik yang dimiliki Indonesia, orang yang pernah mencicipi pahitnya penjara di 3 era yang berbeda. Di masa Hindia Belanda, Orde Lama, dan Orde Baru.

Sebelum ditahan dan diadili di Pulau Buru selama 10 tahun, Pram sudah merasakan penjara. Namun, ia benar merasakan dampak dari karyanya di era orde baru.

READ :  Desain Jersey Futsal Printing Keren

Sebagai penulis yang merapat ke LEKRA, Pram memiliki dua senjata yang membuat Soeharto Gelisah. Pertama, ia dituding sebagai orang kiri. Kedua, ia adalah penulis yang aktif mengkritik.

Zaman telah berganti, karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam 43 bahasa dan semua orang dapat membacanya tanpa takut tendensi dari pemerintah.

 

Itulah sederet sastrawan Indonesia yang dipenjara karena karyanya. Kira-kira adakah yang menjadi idolamu? (fix)